Langsung ke konten utama

Panjang, Mendalam, Terasa sampai ke Tulang Sumsum

Liputan naratif ala jurnalisme sastrawi adalah antidot berita kaleng-kaleng berjudul umpan klik dalam media siber Indonesia. Dengan berita biasa, pembaca sekadar mengetahui “apa”. Dengan narasi mendalam, pembaca menjadi paham “mengapa” dan bisa merasakan “bagaimana”.

oleh Jarar F. Siahaan — 2.294 kata

majalah LAKLAK foto berita pusaka marga Situmorang di Samosir
Foto dalam liputan naratif empat halaman tabloid tentang pencurian pusaka keramat marga Situmorang Lumbannahor yang pernah saya tulis tahun 2013. (Foto: Jarar Siahaan)

Sebuah berita profil penyanyi yang ditulis dalam narasi mahapanjang, 15.000 kata, terbit di majalah Esquire pada April 1966. Esquire mengongkosi penulisnya hampir $5,000, kira-kira Rp70.000.000, untuk mengerjakan liputan mendalam tersebut. Judulnya “Frank Sinatra Has a Cold”. (Tajuk yang sederhana ini, “Frank Sinatra Kena Pilek”, akan menjadi judul umpan klik seumpama terbit pada zaman kiwari di media siber Indonesia: “Wow, Enggak Nyangka, Inilah 5 Fakta tentang Frank Sinatra, Nomor 4 Bikin Baper”.) Koran-koran di Amerika Serikat menilai karya tulis jurnalis Gay Talese itu sebagai salah satu artikel profil terbaik dalam dunia jurnalisme. Sampai sekarang narasi Talese terus dikutip dalam buku, didiskusikan di ruang belajar penulisan nonfiksi, dan diajarkan dosen jurnalisme sastrawi.

Berikut saya mengalihbahasakan kalimat pembuka liputan naratif itu: Frank Sinatra, yang sedang memegang segelas wiski di satu tangan dan sebatang rokok di tangan lainnya, berdiri di sudut gelap bar di antara dua orang berambut pirang yang duduk menunggunya mengatakan sesuatu. Namun, ia tidak berkata apa-apa. Ia membisu terus sepanjang malam […] Selanjutnya, paragraf kedua: Sinatra tengah sakit. Ia kena satu penyakit yang sangat umum, yang oleh kebanyakan orang akan dianggap sepele. Akan tetapi, ketika penyakit itu diderita oleh Sinatra, ia bisa sangat sedih, merasa depresi berat, panik, bahkan marah. Frank Sinatra sedang kena pilek. Alinea ketiga dimulai dengan kalimat Sinatra dengan pilek ibarat Picasso tanpa cat, Ferrari tanpa bahan bakar….

Wartawan Gay Talese menulis liputan selebritas Frank Sinatra demi kontrak kerjanya dengan majalah Esquire untuk mengerjakan enam berita naratif selama satu tahun. Editor majalah kaum pria yang terbit mulai tahun 1933 itu sempat khawatir karena Sinatra, penyanyi berusia 50 tahun yang tengah disoroti pers dalam pelbagai isu, selama bertahun-tahun selalu menolak wawancara dengan wartawannya, dan ternyata Sinatra juga menghindar dari Talese. Namun, pantang menyerah, selama tiga bulan sang wartawan legendaris terus-menerus menguntiti Sinatra, menguping ucapannya, mengamati gerak-geriknya, dan menginterviu orang-orang dekatnya, termasuk para pengawal pribadinya.

Sebelum menulis profil Sinatra, pada tahun 1962 Talese sudah pernah menulis berita bergenre serupa, jurnalisme sastrawi, juga di majalah Esquire, bertajuk “Joe Louis: The King as a Middle-aged Man”. Liputan yang ditulis dengan gaya cerita fiksi itu dibaca oleh jurnalis cum novelis Tom Wolfe. “Tidak dibuka seperti lazimnya berita majalah, tetapi dengan adegan yang intim sebagaimana cerpen,” ujar Wolfe. Ia takjub akan kepiawaian Talese menulis berita yang terasa sedemikian akrab dengan pembacanya, seperti sekelumit terjemahan harfiah saya di bawah ini.

“Hai, Sayang!” Joe Louis memanggil istrinya, yang menunggunya di bandar udara Los Angeles.

Istrinya tersenyum, berjalan ke arahnya, lalu berjinjit untuk menciumnya, tetapi tiba-tiba berhenti. “Joe,” katanya, “di mana dasimu?”

“Ah, Sayang,” kata Joe Louis sambil mengangkat bahu, “aku keluar sepanjang malam di New York dan tak punya waktu.”

“Sepanjang malam!” istrinya menukas. “Setiap kau ke sini, yang kaulakukan ialah tidur, tidur, tidur!”

“Sayang,” kata Joe Louis, menyeringai lesu, “aku ini sudah tua.”

“Ya,” kata istrinya, “tetapi ketika kau ke New York, kau mencoba menjadi muda kembali.”

Sebelum menulis untuk majalah Esquire, Gay Talese bekerja pada warta harian terkenal The New York Times selama sepuluh tahun, tetapi kemudian ia tidak puas. Baginya format koran amat terbatas untuk menampung artikel panjang sehingga ia beralih pada majalah.

...

Liputan superpanjang Truman Capote berjudul “Annals of Crime: In Cold Blood” diterbitkan majalah mingguan The New Yorker tahun 1965 secara bersambung dalam empat edisi. Kisah nyata dua pembunuh yang ditulis dengan gaya penceritaan novel itu kemudian dibukukan dan difilmkan dengan tajuk In Cold Blood.

Berikut nukilan dari buku terjemahan Indonesia-nya, yang berplot lamban, pada sampul belakang.

Empat orang ditemukan tewas terbunuh secara sadis di Holcomb, Kansas. Mereka adalah petani kaya Herb Clutter; istrinya, Bonnie; dan kedua anak remajanya, Nancy dan Kenyon. Tiga nama terakhir tewas ditembak di kepala. Herb Clutter, sang ayah, menjadi korban yang tampak paling menderita: terbaring beralaskan kardus di basemen dengan leher nyaris putus! Mereka menjadi korban kejahatan hanya demi uang tak lebih dari 42 dolar. Ini adalah kejahatan yang tak masuk akal. Satu nyawa setara dengan sepuluh setengah dolar. Enam minggu kemudian sang pembunuh, Perry Smith dan Richard “Dick” Hickock, tertangkap. Novel ini secara mendetail menceritakan kehidupan korban dan pembunuhnya, yang ditulis dengan sentuhan emosional yang subtil tetapi mendalam. Dibutuhkan waktu enam tahun bagi Capote untuk menulis sebelum akhirnya In Cold Blood terbit.

Kira-kira dua puluh tahun sebelum terbitnya karya-karya Gay Talese, Tom Wolfe, dan Truman Capote, sebenarnya sudah pernah muncul karya jurnalisme naratif yang juga sangat populer. Jadi, bukan ketiga penulis itu yang pertama kali mengadopsi teknik fiksi ke dalam penulisan laporan jurnalistik. Karya nonfiksi yang saya maksud terbit dalam satu liputan mahapanjang yang menyita seluruh lembaran majalah The New Yorker edisi 31 Agustus 1946. Pada awalnya redaksi sempat berencana mencetak laporan sepanjang 30.000 kata itu secara bersambung dalam beberapa edisi. Penulisnya wartawan John Hersey. Judulnya “Hiroshima”. Hersey ditugasi meliput ke Jepang setelah bom atom dijatuhkan di Hiroshima oleh Amerika Serikat. Ia mewawancarai enam narasumber utama, penduduk yang selamat dari bom, yaitu dua orang dokter, seorang pendeta Protestan, seorang penjahit yang sudah menjanda, seorang perempuan buruh pabrik, dan seorang rohaniwan Katolik berkebangsaan Jerman. Majalah edisi spesial itu laris manis. Semuanya terjual. Fisikawan Albert Einstein, yang sempat memesan seribu eksemplar, hanya bisa gigit jari. Stasiun-stasiun radio Amerika Serikat heboh membacakan narasi Hersey. Surat-surat kabar harian ramai mengulasnya. Berita naratif itu kemudian diterbitkan dalam bentuk buku.

...

Buku terjemahan Indonesia Hiroshima: Ketika Bom Dijatuhkan karya John Hersey saya beli tahun 2008. Sebelum itu saya sudah memiliki buku Truman Capote In Cold Blood. Ada satu buku lain berisi liputan jurnalisme sastrawi yang belum saya miliki tetapi sinemanya sudah berkali-kali saya tonton, dan saya tak bosan-bosan: film “Black Hawk Down”. Ini film perang modern tentang 123 anggota pasukan elite Amerika Serikat yang terjepit di Kota Mogadishu, Somalia, dan mesti menghadapi ribuan milisi Aidid, yang diangkat dari buku nonfiksi. Aslinya, cerita panjang tersebut merupakan berita serial tahun 1997 di surat kabar Amerika Serikat, yang terbit bersambung saban hari selama satu bulan penuh. Penulisnya Mark Bowden, wartawan harian The Philadelphia Inquirer. Ia mewawancarai para prajurit yang terlibat langsung dalam perang sehingga adegan dan dialog dalam tulisannya begitu hidup.

Ada dua orang lagi jurnalis spesialis narasi panjang yang karyanya telah banyak difilmkan, yaitu Joshua Davis dan Joshuah Bearman. Keduanya wartawan lepas yang sering bekerja sama dalam peliputan. Davis adalah editor lepas Wired, majalah bulanan Amerika beroplah 850.000, yang sebendera perusahaan dengan majalah mingguan The New Yorker. Bearman menulis lepas untuk pelbagai majalah dan menjadi kontributor untuk acara radio berdurasi enam puluh menit “This American Life” yang populer di Amerika. Sedikitnya sudah dua puluh artikel liputan mereka, baik yang terbit dalam media arus utama maupun dalam situs web pribadi, yang terjual menjadi cerita film layar lebar. Artikel Bearman di majalah Wired tahun 2007 berjudul “The Great Escape”, tentang pembebasan sandera, warga Amerika Serikat, dari kediaman Duta Besar Kanada di Iran, difilmkan pada 2012 dengan judul “Argo”, yang kemudian meraih penghargaan Oscar tahun 2013 sebagai film terbaik. Satu narasi panjang Davis tahun 2009 di Wired juga diadaptasi ke dalam film oleh sutradara papan atas J.J. Abrams. Ceritanya mengenai pencurian berlian terbesar di dunia.

Berikut sinopsis salah satu karya jurnalisme sastrawi Joshua Davis dan Joshuah Bearman, “The Mercenary”, yang awalnya dirilis di situs web mereka, epicmagazine.com, dan kemudian dibukukan, tentang kisah seorang polwan janda dan seorang pria duda mantan anggota Pasukan Khusus yang mencari perampok tambang emas.

Eksekutif pertambangan di negara Peru melaporkan: tambang emas telah dirampok, dan dua penjaga tewas dibunuh. Ia butuh seseorang untuk mencari si pembunuh dan, tentu saja, membawa kembali emas yang hilang.

Roy Petersen melemparkan minumannya. Satu matanya buta. Ia punya dua sendi-pinggul buatan. Ia bercerai dua kali. Walau begitu, mantan anggota Pasukan Khusus itu yakin bahwa akan ada satu pekerjaan yang bagus untuknya, dan segalanya akan menjadi lebih baik.

Maria adalah seorang polisi wanita di Lima, Peru, yang juga sudah bercerai. Dia bukan petugas lapangan. Satu kali saja dia pernah menembakkan pistolnya, yaitu dalam pelatihan. Kemudian dia berjumpa dengan Roy Petersen.

Di gunung-gunung yang terjal di Peru, mereka berdua pun berangkat untuk memecahkan kasus tambang emas itu.

...

Tom Wolfe, novelis merangkap wartawan yang selalu berpakaian serbaputih, yang terkesima membaca berita sastrawi Talese, dikenal sebagai pencetus “jurnalisme baru”. Ia mengawali kariernya di koran tua The Republican di Massachusetts, Amerika Serikat, dan setelah itu di harian The Washington Post sebagai reporter politik, koran New York Herald Tribune sebagai penulis berita khas (feature), kemudian di majalah Esquire sebagai penulis narasi mendalam. Karena tertarik pada gaya penulisan Talese, Wolfe menaklik sejumlah karya berita feature istimewa, lalu bersama dengan E.W. Johnson menyunting dan menerbitkan buku antologi The New Journalism, setebal 394 halaman, pada 1973. Isinya 23 berita panjang naratif karya beberapa wartawan, termasuk liputan mahapanjang Truman Capote dalam buku termasyhur In Cold Blood, dan karya-karya Wolfe sendiri. Para penulis antologi inilah yang dijuluki Wolfe sebagai “wartawan baru”.

Dalam bukunya itu Tom Wolfe membentangkan pengertian jurnalisme baru, yang kemudian hari juga dikenal dengan istilah jurnalisme sastrawi (literary journalism), nonfiksi kreatif (creative nonfiction), atau jurnalisme naratif (narrative journalism). Dalam manifestonya ia menulis empat hal pokok yang membedakan jurnalisme sastrawi dan jurnalisme biasa.

Pertama, komposisi adegan demi adegan seperti yang berlaku dalam sinematografi. Untuk itu, sebisa mungkin wartawan tidak cuma mengandalkan informasi latar belakang dari tangan kedua, apalagi hanya komentator, tetapi mencari informasi yang sahih dari tangan pertama. Bila mungkin, menyaksikan peristiwa ketika sedang terjadi.

Kedua, dialog. Wartawan tidak sekadar mencatat kalimat yang diucapkan narasumber, tetapi juga menjelaskan dan membangun karakter tokoh-tokoh dalam beritanya dengan penulisan dialog yang menarik dan hidup.

Ketiga, sudut pandang orang ketiga. Tidak semata-mata menyiarkan fakta kepada pembaca, wartawan pun mesti menyuguhkan suasana yang nyata dari sebuah peristiwa dan orang-orang yang terlibat di dalamnya. Salah satu teknik untuk itu: perlakukan tokoh utama berita bagaikan karakter dalam kisah novel. Apa motivasinya? Apa yang dia pikirkan?

Keempat, detail. Wartawan jurnalisme sastrawi harus peka mengamati kebiasaan, raut badan, dan kondisi di sekeliling tokoh beritanya, bahkan mencatat apa makanan kegemarannya dan bagaimana air mukanya saat berbicara. Wolfe menyebut teknik ini “autopsi sosial,” yang membuat khalayak pembaca bisa melihat orang lain sebagaimana dia melihat dirinya sendiri.

Keempat keunggulan jurnalisme sastrawi tersebut dapat dicapai wartawan dengan mengembangkan unsur “5W + 1H”, dalil pokok penulisan berita, menjadi elemen sinematik. Roy Peter Clark dari The Poynter Institute merumuskannya dengan tertib: siapa menjadi karakter; apa menjadi plot; di mana menjadi latar; kapan menjadi kronologi; mengapa menjadi motif; dan bagaimana menjadi narasi.

“Jurnalisme naratif adalah hasil kawin campur keterampilan penuturan cerita dengan kemampuan wartawan membuat drama, mengamati orang, tempat, dan kejadian nyata,” kata Robert Vare, yang pernah bekerja sebagai redaktur majalah The New Yorker dan majalah The Rolling Stone, seperti tertulis dalam majalah Nieman Reports yang dikutip majalah Pantau. “Kalau saya mengatakan Raja telah mangkat, dan kemudian Ratu juga wafat, itu bukan naratif,” katanya. “Akan tetapi, kalau saya mengatakan Raja telah mangkat, dan kemudian Ratu pun wafat karena patah hati, itulah naratif.”

...

Istilah jurnalisme sastrawi atau jurnalisme naratif saya ketahui pertama kali dari Pantau, majalah bulanan yang saya langgani sejak tahun 1999 sampai ia berhenti terbit pada 2003, sebelum pada rentang tahun tersebut saya membeli buku Jurnalisme Sastra karya dosen komunikasi Dr. Septiawan Santana Kurnia. Artikel-artikel Pantau takbisa lekas kelar dibaca dalam dua–tiga menit seperti artikel media siber atau koran harian. Panjangnya rata-rata lebih dari tiga ribu kata. Desain perwajahannya meniru majalah The New Yorker, pionir media jurnalisme sastrawi, dengan sampul kartun. Isinya bukan berita umum, melainkan hanya berkaitan dengan dunia jurnalisme, seni, sastra, dan sekitarnya. Ia semacam tukang libas pers, pengupas media, pengkritik dunia kewartawanan Indonesia. Hampir semua wartawan yang menulis di majalah Pantau adalah kontributor alias jurnalis lepas dari pelbagai daerah di Indonesia. Honorarium tulisan mereka, kalau saya tidak salah dengar, Rp400 per kata. Itu upah yang sangat-sangat besar dibandingkan dengan gaji atau honor berita kebanyakan wartawan, termasuk honor wartawan daerah dua media besar d***.com dan k***.com yang hanya senilai kira-kira dua bungkus rokok. Menurut berita resmi penerbitnya, Pantau disetop gara-gara kesulitan ongkos cetak dan biaya penulis. Menurut desas-desus di kalangan wartawan: lantaran ada artikel panjang Pantau yang secara blak-blakan membongkar kebusukan sebuah majalah besar yang salah satu pemilik sahamnya ialah penerbit Pantau sendiri.

Walaupun baru mendengar genre jurnalisme sastrawi pada 1999, sebenarnya saya sudah mempraktikkan teknik dasar penulisan sastrawi sejak awal karier tahun 1994, yaitu dalam bentuk yang lebih sederhana, berita khas.

Pada tahun 2013 saya pernah menulis laporan naratif “Cenayang Pusaka Situmorang” perihal kasus pencurian manuk-manuk, pusaka yang dijaga turun-temurun oleh klan besar Situmorang Lumbannahor di Kabupaten Samosir. Saya menginterviu kepala desa, para saksi mata, orang yang menyimpan barang pusaka, kolektor barang antik, kerabat pencuri, dan termasuk si pencuri di dalam penjara. Berdasarkan informasi dari semua narasumber primer itulah, bukan dari berita acara pemeriksaan polisi, saya merekonstruksi adegan demi adegan pencurian pusaka keramat tersebut dalam lima ribu kata.

Terkait dengan elemen detail dan dialog yang hidup dalam laporan naratif, seperti yang dikatakan Tom Wolfe, saya punya contoh sederhana dalam tiga paragraf berikut. Kutipan ini saya tulis dalam koran grup Jawa Pos dua puluh tahun silam dalam salah satu dari tiga berita serial kebakaran 77 ruko di pasar Porsea, Kabupaten Toba Samosir.

Ketika saya bertanya siapa nama “si Jenderal” itu, dia menjawab tanpa tersendat-sendat: “Namaku Jenderal Drs. Pahlawan Revolusi Bilfrid Naibaho Satpam Rumah Sakit Umum Porsea Kebakaran.”

Gaya berpakaiannya memang sering meniru-niru polisi atau tentara. Pada siang hari itu dia mengenakan celana loreng militer yang terpotong sebatas lutut. Bajunya oblong hijau. Kepalanya tertudung topi polisi yang diganjal dengan kertas koran karena kelonggaran. Pada kakinya terpasang sepatu kets dan dua kaus kaki yang berbeda warna.

“Umurku tujuh belas tahun ke atas. Aku ditugaskan Presiden ke Porsea,” kata dia sekenanya. “Tulis, ya, Bang, gajiku satu bulan lima hari. Istri bapakku sudah mati. Aku sudah kawin. Aku sekolah luar biasa. Tutup pabrik Indorayon! Buka sedikit!”

Dus, pada hakikatnya jurnalisme sastrawi adalah kerja reportase takbiasa oleh wartawan veteran yang terampil meracik data dan bahasa untuk mencipta karya tulis bermutu yang tidak lekas basi. Ia bukan bacaan bagi orang yang pikirannya pendek dan dangkal, karena ia panjang, mendalam, dan terkadang terasa menusuk sampai ke tulang sumsum.

——————————————
WWW.LAKLAK.ID 24 JUNI 2019

Postingan populer dari blog ini

Lagu Batak yang Dibawa Mati Jenderal Panggabean

Lagu Batak Makin Tidak Bermutu

“Doa Saya di Pusuk Buhit Selalu Terwujud”