Langsung ke konten utama

“Tunggu Mati Dulu, Baru Polisi Datang”

Kendatipun takada anggota Polri dan kantor polisi di Kecamatan Sitiotio, Kabupaten Samosir, Provinsi Sumatra Utara, penduduk di sana tetap hidup dengan damai. Pemkab Samosir perlu segera membangun jalan dari Desa Sabulan menuju ke Desa Holbung dan Desa Janji Raja. Para juragan kapal di Danau Toba berjasa menghubungkan Mogang dengan Sabulan, dan Simbolon dengan Tamba: ongkosnya terlalu murah, dan mereka jujur pula.

oleh Jarar Siahaan | 918 kata

Siringoringo juragan kapal Danau Toba di Sabulan Sitiotio Samosir
Juragan kapal Buha Siringoringo di rumahnya di Desa Sabulan, Kecamatan Sitiotio, Kabupaten Samosir, Provinsi Sumatra Utara, Maret 2013. (Foto: Jarar Siahaan)

Salah satu pandangan yang mencolok di sepanjang jalan Kecamatan Sitiotio: tidak ada pengendara sepeda motor yang memakai helm. Wartawan Koran Toba, yang bermotor dari Tamba hingga tiba di Sabulan, tidak satu kali pun mendapati pengendara mengenakan topi pengaman kepala.

“Tidak perlu pakai helm di sini, karena tidak ada polisi lalu lintas,” kata seorang penduduk setempat. “Lagi pula kami tidak bisa tancap gas. Jalannya pendek-pendek, berkelok-kelok, berbatu-batu pula.” Memang jalan umum di Kecamatan Sitiotio bukanlah jalan raya, bukan jalan lebar yang beraspal seperti jalan di Kecamatan Pangururan atau Kecamatan Palipi.

Di Kecamatan Sitiotio belum ada kantor kepolisian sektor (polsek). Wilayah hukum Sitiotio masih berada dalam tanggung jawab Polsek Palipi. Oleh karena itu, apabila ada warga Sitiotio yang tengah membutuhkan bantuan polisi, dia mesti menelepon atau langsung berangkat ke Kecamatan Palipi untuk menjemput petugas Polsek Palipi supaya bisa datang lebih cepat.

Bah, jolo mate ma asa ro polisi,” kata Buha Siringoringo, 43 tahun, juragan kapal, berseloroh kepada Koran Toba yang berwawancara di rumahnya di Desa Sabulan, Kecamatan Sitiotio, Kabupaten Samosir, 14 Maret 2013. Tunggu mati dulu, baru polisi datang. Maksud dia kurang lebih seperti kejadian dalam cerita film India: Inspektur Vijay selalu terlambat datang ke tempat kejadian perkara. Ketika orang sudah kelar beradu jotos atau baku tembak, dan korban sudah kadung meregang nyawa, barulah polisi tiba.

Meskipun begitu, kendati tidak ada satu orang pun anggota Polri yang bertugas di Kecamatan Sitiotio, daerah ini aman dari tindak kriminal. Hal itu tidak lain tidak bukan, menurut Buha Siringoringo, karena masyarakat Sitiotio masih berkukuh pada norma agama dan tatanan adat Batak Toba.

Polisi dari Polsek Palipi atau Polres Samosir di Pangururan bisa datang ke Sitiotio melewati Danau Toba tidak terlepas dari jasa para pemilik kapal. Seandainya saja bertahun-tahun silam Buha Siringoringo tidak nekat melayari Sabulan–Mogang dengan kapalnya, sekarang polisi masih berpayah-payah menyeberang dari Kecamatan Palipi menuju ke Sabulan di Kecamatan Sitiotio. “Waktu dulu saya membuka rute Sabulan–Mogang, tidak ada penghasilan. Selama beberapa bulan pertama cuma ada satu atau dua orang penumpang, tapi saya antar juga,” katanya.

Ikhtiar Buha Siringoringo membuka akses jalan danau tidak sia-sia. Sekarang saban hari sudah ada lima kapal yang rutin melayari Sabulan menuju ke Mogang, dan sebaliknya. Tiap jam pasti ada kapal yang berangkat, bahkan walaupun penumpangnya hanya satu orang. Salamat Sinaga, salah satu sopir kapal Mogang–Sabulan, mengatakan kapalnya berlayar tujuh sampai delapan trip setiap hari dengan menghabiskan bahan bakar solar tiga puluh liter.

Tarif ongkos kapal Sabulan–Mogang pun tidak lebih mahal daripada harga setengah bungkus rokok: Rp5.000 saja. Bahkan, khusus untuk pelajar dan pegawai negeri lebih murah. Para juragan kapal di Desa Sabulan bersepakat membantu meringankan beban biaya transportasi yang mesti ditanggung aparatur yang bertugas di Kecamatan Sitiotio tetapi bermukim di Kecamatan Palipi. Bagi PNS itu berlaku tarif tetap Rp80.000 per orang per bulan untuk rute Mogang–Sabulan pulang balik pada hari kerja. Tarif kapal penumpang jurusan Simbolon menuju Tamba di Kecamatan Sitiotio juga sama, Rp5.000. Jadwal terakhir kapal Sabulan–Mogang pukul 18.00, sedangkan kapal Simbolon–Tamba dan sebaliknya tanpa jeda, beroperasi nonstop selama 24 jam. Bahkan, pada tengah malam sekalipun ongkosnya tetap sama dengan tarif siang hari.

Wartawan Koran Toba terkagum-kagum merasakan layanan pengusaha kapal tatkala kami kembali dari tugas peliputan di Kecamatan Sitiotio. Pada malam hari pukul 22.00, setiba di dermaga kapal, kami hanya membunyikan klakson sepeda motor beberapa kali, dan si pengemudi kapal segera keluar dari rumahnya. Kemudian mesin kapal dihidupkan, dan kami langsung diantarkan meskipun tidak ada penumpang lain. Setibanya kapal di darat di Simbolon, ongkos yang diminta dari kami bukanlah Rp15.000 seperti tarif yang berlaku, yaitu ongkos dua orang penumpang Rp10.000 ditambah ongkos satu sepeda motor Rp5.000. Kami hanya perlu membayar ongkos Rp10.000. “Karena kita berdua berboncengan dengan satu sepeda motor, Bang, dihitung cuma ongkos satu orang dan satu motor,” kata Abidan Simbolon, reporter Koran Toba, kepada saya. Jujur sekali sopir kapal ini.

Saya pun memikir dalam hati: seandainya kapal penumpang Danau Toba khusus jam malam itu dikelola oleh aparat pemerintah, berapa gerangan ongkos yang diminta dari penumpang? Tidak mustahil “kalau bisa lebih mahal, kenapa harus lebih murah.”

Buha Siringoringo mengharapkan Pemerintah Kabupaten Samosir jangan berlama-lama memenuhi kebutuhan warga Kecamatan Sitiotio akan akses jalan yang layak, khususnya jalan dari Desa Sabulan menuju ke Desa Holbung dan Desa Janji Raja yang selama ini sangat sulit dilewati kendaraan roda dua. Jalan itu menanjak, dan kedua desa tersebut berada di balik gunung. “Agar perekonomian penduduk Holbung dan Janji Raja meningkat, jalan itu mesti segera dibangun,” katanya. “Pernah saya baca di koran, anggaran Samosir berlebih, katanya SiLPA. Tarhona do lobi?”

Buha Siringoringo menyatakan banyak pelajar tamatan SMP di Desa Holbung dan Desa Janji Raja, tetapi mereka tidak bersekolah di SMA Negeri 1 Sitiotio, karena terkendala masalah akses jalan. “Jadinya mereka bersekolah ke Balige atau Nainggolan,” katanya.

Masalah akses jalan ke Desa Holbung dan Desa Janji Raja ini sudah berulang kali disampaikan oleh masyarakat kepada Pemerintah Kabupaten Samosir, termasuk melalui musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang) di tingkat Kecamatan Sitiotio yang setiap tahun diikuti Buha Siringoringo. “Tetapi tidak dilaksanakan juga,” katanya. “Saya pernah bilang kepada pejabat Pemkab, ‘Kalau kalian mengaspal satu atau dua kilometer saja setiap tahun, semua jalan di Sitiotio ini sudah bagus.’ Mulai terbentuknya Kecamatan Sitiotio, jalan di sini sama saja, tidak ada pembangunan. Tidak ada jalan yang beraspal kecuali beberapa ratus meter di sekeliling kantor Camat.”

____
Berita ini saya terbitkan dalam Koran Toba pada tahun 2013.

——————————————
WWW.LAKLAK.ID 9 AGUSTUS 2019

Postingan populer dari blog ini

Lagu Batak yang Dibawa Mati Jenderal Panggabean

“Doa Saya di Pusuk Buhit Selalu Terwujud”

Lagu Batak Makin Tidak Bermutu