Langsung ke konten utama

Lagu Batak yang Dibawa Mati Jenderal Panggabean

Bersama-sama dengan ibunya, seorang anak laki-laki menemui abangnya dan meminta bantuan uang tiga puluh lima ribu rupiah untuk ongkosnya merantau ke Jakarta, tetapi abangnya tidak memberi serimis pun. Untuk mengungkapkan kesedihan hatinya, si anak menulis sebuah lagu Batak Toba yang menjadi sangat terkenal 25 tahun kemudian. Judulnya: “Poda”. Nama anak itu: Tagor Tampubolon.

oleh Jarar F. Siahaan | 1.685 kata

foto artis Tagor Tampubolon pencipta lagu Batak Toba
Tagor Tampubolon, pencipta 600-an lagu Batak Toba, bernyanyi pada selang wawancara tabloid Batak Raya di Pangururan, Kabupaten Samosir, Provinsi Sumatra Utara, Agustus 2016. Dulu Jenderal TNI Maraden Panggabean pernah mencarinya gara-gara lagu “Poda”. (Foto: Jarar F. Siahaan)

Pada tahun 1980-an awal, mantan Panglima ABRI Jenderal TNI Maraden Panggabean, yang kala itu menjabat Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan, menyuruh ajudannya mencari Tagor Tampubolon dan membawanya ke Hotel Borobudur, Jakarta. Di sana Panggabean mentraktirnya minum dan berkata, “Masih anak-anak kau, Amang, tapi sudah mampu mengarang lagu sebagus ‘Poda’ ini.” Tagor membalas, “Itu berkat dari Tuhan, Amang.” Tanpa diduga-duga oleh Tagor, sang Jenderal berjanji: “Lagumu ini akan tetap saya kenang dan akan saya bawa sampai nanti saya mati.” Sejak saat itu hingga detik ini hubungan Tagor dengan keluarga Jenderal Panggabean sangat rapat.

Lagu Batak “Poda” amat populer sepuluh tahun terakhir. Contohnya, pada tahun 2008 di Kabupaten Toba Samosir “Poda” menjadi lagu wajib kontes Tobasa Idol. Stasiun-stasiun radio FM di antero Tapanuli mengudarakannya siang dan malam atas permintaan pendengar. Karena itu, tidak sedikit orang yang mengira “Poda” tercipta tahun 2000-an. Ternyata lagu legendaris tersebut “saya tulis tahun 1979,” kata Tagor Tampubolon, pencipta lagu “Poda”, yang saya wawancarai untuk tabloid Batak Raya di Pangururan, Kabupaten Samosir, Provinsi Sumatra Utara, 14 Agustus 2016.

Seniman berusia 57 tahun ini mengatakan lagu “Poda” pertama kali dinyanyikan oleh biduan papan atas Eddy Silitonga. Akan tetapi, lagu tersebut belum seterkenal sekarang, karena tempo itu selera pasar kaset lagu Batak Toba masih dikuasai oleh vokal grup trio dengan lagu-lagu cinta melankolis.

Berikut petikan lagu “Poda”, dan cobalah nyanyikan atau renungkan: Angurdo goarmi anakhonhu songon bunga-bunga i, nahussusi / molo marparange na denggan do ho di luat nadao i / … / ai damang do sijujung baringin di ahu amangmon / jala ho na ma silehon dalan di anggi ibotomi

Lirik lagu itu sarat makna, mengandung petuah berharga seorang ayah kepada putra tertuanya. Tahukah Saudara bagaimana ilham “Poda” lahir? Saya sendiri tidak menyangka: tembang yang takkan lekang oleh zaman itu ternyata ditulis Tagor Tampubolon sebagai iktirad sekaligus ungkapan kesedihan dan kekesalan hatinya terhadap abangnya sendiri.

“Waktu itu tahun 1976 di Simalungun, sawah kami gagal panen, dan tidak ada uang,” kata Tagor. Ia, yang saat itu masih remaja kencur, dan ibunya pergi mengunjungi abang kandungnya, yang kehidupannya tergolong mapan, di Sidamanik untuk minta uang Rp35.000—ya, nolnya cuma tiga biji—tetapi si abang tidak memberikan sepeser pun. Tagor dan ibunya pulang bertangan hampa dan berasa pilu. “Mak, kenapa Abang seperti itu? Katanya kalau orang Batak bapaknya sudah meninggal, putra tertua akan mengambil alih tanggung jawab terhadap keluarga,” kata Tagor.

Ibunya tidak mau menyalahkan anak sulungnya, lalu meminjam uang Rp35.000 dari orang lain. “Itulah modal saya merantau ke Jakarta,” kata Tagor Tampubolon. Dua belas ribu rupiah dari uang itu dipakainya untuk ongkos kapal laut Tampomas.

Dua tahun kemudian di Jakarta, ketika baru tamat SMP dan menganggur selama satu tahun karena tidak punya uang untuk masuk SMA, di dalam kamar indekosnya Tagor memetik gitar dan mengambil pena. Hanya dalam hitungan menit ia berhasil menulis seuntai lagu yang dijudulinya “Poda”.

Kini lagu “Poda” sangat digemari publik tidak lain tidak bukan karena isinya “kejujuran, fakta, apa adanya, dan saya tidak berpura-pura,” kata Tagor. “Lagu itu untuk menyadarkan abang saya. Tapi saya tidak pernah menaruh dendam kepadanya.”

Di Jakarta pada awalnya Tagor Tampubolon sempat bergabung dengan kelompok seniman Batak yang doyan mabuk-mabukan. Namun, karena bukan peminum dan tidak beroleh ilmu dari mereka, ia pun menjauh. Kemudian ia bergaul dengan pencipta lagu terkenal Rinto Harahap, maestro biola Idris Sardi, dan “orang-orang pintar dalam seni musiklah yang saya temani,” katanya.

Seniman asal Balige ini sempat bernyanyi di restoran dan hotel di Jakarta untuk menyambung rezeki, tetapi honornya sangat kecil. Di sanalah pada suatu hari, setelah menulis lagu “Poda” tetapi belum memublikasikannya, ia didatangi tiga orang Batak, yaitu Johannes Purba, pianis hebat yang kemudian menjadi guru musiknya; Eddy Silitonga, penyanyi kondang; dan abang kandung penyanyi top Victor Hutabarat. Mereka mengajak Tagor bergabung di studio rekaman Purnama Record. Di sanalah saban hari, sebelum berangkat ke SMA pada malamnya, Tagor Tampubolon bertemu dengan penyanyi-penyanyi pop Indonesia, mengasah kemampuannya, dan mulai menggeluti industri musik.

Tahun 1982 ia memasuki sekolah musik guna memperdalam musikalitasnya, khususnya ilmu gitar dan piano. Sebelumnya ia sudah menguasai uning-uningan, musik tradisional Batak. Ia mempelajari komposisi agar bisa menyusun lagu dengan lebih teratur. Ia juga menaklik karya-karya legendaris Nahum Situmorang. Tagor berpikir: pada era komponis Nahum pun titinada sudah ada dan dipelajari, tetapi mengapa sekarang justru banyak lagu yang asal jadi dan tidak bermakna, maka “saya tidak mau seperti itu.”

Ia membuktikannya. Lagu-lagu yang dikarangnya senantiasa mengandung pesan-pesan moral dan “semuanya berbentuk rohani,” katanya, “seperti ‘Poda’, ‘Poda ni Dainang’, ‘Tangiang ni Dainang’ yang dinyanyikan Victor Hutabarat, ‘Burju ni Dainang’, ‘Boru Panggoaran’, ‘Ho Do Inang ni Gellenghu’, dan lagu yang saya ciptakan atas hilangnya O.B. Siahaan, ‘Didia Ho, Among’.” Nama yang terakhir disebut Tagor adalah Direktur Utama PT Perkebunan Nusantara III, Onggong Baringin Siahaan, ayah dari pengusaha Henry Siahaan—mantan suami artis Yuni Shara—yang hilang dalam kecelakaan pesawat tahun 1982. Empat belas tahun kemudian kerangka O.B. Siahaan dan pesawat itu ditemukan di hutan di kawasan Aceh Timur, dan O.B. dimakamkan di kampungnya, Balige.

Tagor Tampubolon, Ketua Persatuan Pencipta Lagu Batak, berpesan agar seniman bekerja secara total dalam berkarya, jangan setengah-setengah. Ia sendiri punya pedoman wajib dalam mencipta: lagunya harus edukatif. Baginya lagu bisa mendoktrin. Jika komponis mengarang lagu-lagu cengeng, para penyuka lagu itu akan makin lemah dan mudah berputus asa. “Kadang lucu lagu-lagu Batak ini, lagu pacaran pun mangandungi,” katanya. Sebab itulah, ia tidak mau mengikuti selera pasar atau permintaan perusahaan rekaman untuk membuat lagu-lagu cinta picisan dan andung-andung Batak. Risiko atas idealismenya itu telah ia tanggung: lagu-lagu bikinannya tidak begitu laku selama era 1980-an hingga awal 1990-an. Kalaupun ada beberapa lagunya yang terjual, toh juga tidak populer pada masa itu.

Tagor berprinsip sebagai seniman ia harus mampu membaca dan merasakan kondisi masyarakat. Maka dari itu, lewat lagu ia mengkritik, walau secara halus dan tersirat, falsafah budaya Batak yang menurutnya tidak tepat atau tidak sesuai dengan fakta, atau tidak relevan lagi dengan kebutuhan zaman. Misalnya, pandangan hidup bahwa anak lelakilah, bukan anak perempuan, yang paling bertanggung jawab mengurusi kedua orang tuanya ketika mereka sudah sakit-sakitan atau tidak mampu lagi mencari nafkah karena termakan usia. “Padahal, faktanya, banyak anak perempuan yang justru lebih peduli terhadap orang tuanya,” katanya. “Dan kalau ada orang tua Batak yang tidak memiliki anak laki-laki, dia akan merasa rendah diri. Saya menentang hal-hal seperti itu.”

Untuk menunjukkan sikapnya itu, Tagor Tampubolon menciptakan lagu berjudul “Boru Panggoaran”. Berikut nukilan lirik lagu yang dinyanyikan oleh Victor Hutabarat itu: Ho do borukku tampuk ni ateatekki / ho do borukku tampuk ni pusupusukki / … / molo matua sogot ahu / ho do manarihon ahu / molo matinggang ahu, Inang / ho do na manogunogu ahu / ai ho do borukku boru panggoaranhi / sai sahatma da na di rohami

Selain soal kehidupan sosial dan budaya Batak, ada juga lagu Tagor Tampubolon yang bertema cinta. Tahun 1990-an abang kandung penyanyi top Victor Hutabarat menemui Tagor dan memintanya menulis lagu khusus untuk dibawakan Victor. Berdasarkan pengalaman pribadinya berpacaran dengan seorang boru Sihombing semasa SMP di Kabupaten Simalungun, ia pun mengarang tembang asmara “Manduda Baion”.

Rapidin Simbolon, Bupati Samosir saat ini, menjumpai Tagor Tampubolon di Jakarta sebelum Rapidin mengikuti proses pemilihan bupati. Rapidin memintanya menggubah “sebuah lagu tentang seluruh Samosir.” Rapidin sendirilah yang menulis syairnya, dan Tagor hanya mengaransemen musiknya. Setelah diutak-atik sampai sepuluh kali, jadilah lagu Batak Toba bertajuk “Samosir na Jogi”.

Suatu hari mereka berdua bersantap di restoran Korea, dan di sana ada vokal grup Batak sedang bernyanyi. Tagor nimbrung menyumbangkan suaranya. Karena terkesima akan lagu-lagu Tagor, pemilik restoran menghadiahkan sebotol sampanye. Tagor menyodorkan minuman itu kepada Rapidin Simbolon untuk diteguk bersama-sama, tetapi ditolak. “Tidak, Lae harus membawanya pulang ke rumah,” kata Rapidin.

Tagor mengatakan dirinya datang beberapa kali ke Kabupaten Samosir bukan untuk meminta-minta uang atau proyek dari Bupati Rapidin Simbolon seperti yang dipikirkan sementara orang. Bahkan, ongkos pesawat pun ia tanggung sendiri. “Saya penulis lagu, bukan kontraktor,” katanya. “Dikasih pun proyek, saya tidak akan mau. Kalian ingat itu! Saya tidak mau hubungan saya dengan Bupati terlalu [bersifat] bisnis.”

Setelah berpuluh tahun bekerja keras dari nol sebagai seniman musik, Tagor Tampubolon sekarang sudah bisa menikmati “gaji buta” berupa royalti atas ratusan lagunya yang terjual di toko cakram padat dan diputar sebagai nada sambung ponsel. Dari satu perusahaan operator telepon seluler saja, setiap empat bulan saldo dalam rekening banknya bertambah sekitar empat juta rupiah untuk satu lagu. Saudara bisa kalikan jumlah penghasilannya dari semua operator kalau, misalnya, dua puluh lagunya dipakai satu operator.

Kalau Tagor Tampubolon dipesani orang untuk menulis lagu khusus, bayaran yang diterimanya sebagai pencipta tidak tentu. Pernah hanya lima ratus ribu rupiah dan satu juta rupiah per satu lagu. Pernah juga Rp150 juta dan “bahkan gratis pun pernah,” katanya. Pernah juga ia ketiban rezeki nomplok dari Torang Lumbantobing, mantan Bupati Tapanuli Utara. Suatu hari Torang memanggilnya dari Jakarta ke Tarutung, dan tanpa dinyana-nyana Torang memberinya uang Rp200 juta. Ia sempat menolak karena merasa tidak punya dasar untuk menerima uang sebanyak itu. Torang pun berkata: “Saya bisa menjadi bupati karena lagu-lagu ciptaan Lae, seperti ‘Poda ni Dainang’. Dulu ketika kampanye, lagu-lagu itulah yang saya nyanyikan sehingga orang-orang tua di kampung senang dan memilih saya.”

Kesuksesan Tagor Tampubolon tidak terlepas dari dukungan istrinya, Ganda boru Sitohang, yang rela membiarkannya “pergi pagi dan pulang entah kapan.” Sejak keduanya berumah tangga, Tagor meminta istrinya memahami pekerjaannya sebagai seniman yang jam kerjanya tidak teratur. “Biarkan saya bebas kalau kita ingin berhasil,” katanya. Karena itu, istrinya tidak pernah menanyai atau pun memarahinya manakala ia mengetuk pintu rumah pukul 04.00 dini hari. Atas toleransi ibu dari keempat putra-putrinya itu, Tagor menghadiahinya lagu “Ho Do Inang ni Gellenghu”.

Saat ini Tagor Tampubolon, maestro lagu Batak Toba yang telah memasyhurkan nama banyak penyanyi Batak, tengah merampungkan proyek lagu “Ompu Nommensen” dan sepuluh lagu bertemakan Raja Sisingamangaraja serta satu lagu yang diangkat dari kisah cinta penyanyi pop Joy Tobing, yang akan dinyanyikan sendiri oleh Joy, bertitel “Sotung Muruk Tondikki”.

——————————————
WWW.LAKLAK.ID 13 JULI 2019

Postingan populer dari blog ini

Pengakuan Dosa Aktivis Pemeras

Bahasa Batak Toba Asli Tinggal 30 Persen