Karena terpencil, sepi, jauh dari denyut perekonomian, Kecamatan Sitiotio dihindari oleh banyak pegawai negeri di Kabupaten Samosir, Provinsi Sumatra Utara. Kantor Camat Sitiotio dan sekolah di sana kekurangan pegawai. Staf tetap bersiaga di kantor meskipun takada “penghasilan tambahan” dari uang sogok.
oleh Jarar F. Siahaan | 886 kata
![]() |
Magda Sitinjak (bertopi) melayani warga desa yang mengurus KTP elektronik di kantor Camat Sitiotio di Kabupaten Samosir, Provinsi Sumatra Utara, Maret 2013. (Foto: Jarar F. Siahaan) |
Dengan tersenyum seorang pegawai perempuan menyambut saya di pintu kantor Camat Sitiotio. “Selamat sore, Pak. Apa yang bisa kami bantu?” katanya. Setelah saya memberi penjelasan, dia berkata, “Pak Camat tidak ada. Beliau sedang bertugas ke Pangururan. Sekcam juga sedang keluar sebentar, tapi beliau masih akan masuk nanti. Mungkin Bapak bisa berbicara dengan Kasi Pelayanan Umum.”
Hari sudah petang, pukul 15.00 lewat, ketika saya tiba di kantor Camat Sitiotio pada Kamis, 14 Maret 2013. Ada hal yang “takbiasa” di dalam kantor itu: tujuh orang pegawai masih duduk di ruangan masing-masing. Tidak biasa karena saya mengira bahwa kantor Camat Sitiotio, badan publik di daerah terpencil, takterurus dan kosong melompong manakala sudah lewat jam istirahat makan siang.
Ternyata tidak demikian. “Kalau kami turun ke warung di bawah untuk makan, sesudah itu kami harus langsung masuk kantor lagi, Pak,” kata Kepala Seksi Pelayanan Umum Kecamatan Sitiotio, Magda Sitinjak, 52 tahun. “Di sini kami juga selalu apel pagi dan apel sore.”
Sambil menjawab wawancara di ruang kerjanya, Magda Sitinjak dan seorang staf lain, Rina Hasibuan, 27 tahun, sesekali membereskan berkas-berkas dan mengurutkan ratusan keping kartu tanda penduduk (KTP) elektronik. Saya melihat seorang remaja SMA datang untuk mengurus KTP, dan Magda menjelaskan syarat-syarat yang mesti dipenuhinya untuk memperoleh KTP. Sekitar tiga puluh menit berselang seorang warga perempuan datang bersama dengan anaknya.
“Mana KTP-ku? Sudah siap, kan?” kata ibu itu.
Magda menyortir tumpukan KTP, lalu menyerahkan satu kartu identitas kepadanya. Sebenarnya, menurut jadwal yang ditetapkan, hari itu bukanlah giliran pembagian KTP untuk desa si warga tadi. “Tapi tetap kami layani, apalagi kalian datang dari jauh,” kata Magda.
“Terima kasih, ya. Tidak ada uang terima kasihku,” kata si ibu, yang bersegera beranjak pulang. Magda dan staf lain tersenyum mendengarnya.
Para pegawai negeri sipil di kantor Camat Sitiotio sudah terbiasa mengurusi keperluan warga desa tanpa menunggu diberi amplop, uang sogok, atau uang terima kasih. Mereka tidak menerapkan akal bulus “kalau bisa dipersulit, kenapa mesti dipermudah.” Seandainya Magda dan kawan-kawan sejawatnya punya niat memungli warga, itu bukanlah hal yang sulit, mengingat lokasi kantor Camat Sitiotio yang jauh dari permukiman penduduk, berada di perbukitan, yang membuat orang enggan ke sana kalau tidak amat penting. Tidak ada pula wartawan dan anggota Polri yang bertugas di Kecamatan Sitiotio.
“Kami kasihan melihat warga di sini, terlebih-lebih warga Desa Janji Raja dan Desa Holbung. Sekitar 75 persen mereka belum mengambil KTP sampai sekarang, karena mereka mesti menyewa kapal hingga Rp300.000 untuk bisa datang ke sini,” kata Magda Sitinjak. “Permintaan kami kepada Bapak Bupati supaya akses jalan darat menuju kedua desa itu diperbaiki. Itulah yang sering disampaikan warga Sitiotio kepada kami.”
Tentang jumlah pegawai di kantor Camat Sitiotio, Magda mengatakan saat ini hanya ada delapan orang PNS, sudah termasuk Camat Paiman Sinaga. Dalam satu tahun terakhir, dua PNS di Kecamatan Sitiotio pindah ke Kecamatan Pangururan, padahal Sitiotio sendiri masih kekurangan banyak pegawai. Dua jabatan kepala seksi belum terisi. Empat kepala seksi tidak memiliki staf sama sekali. “Kasubbag Perencanaan masih kosong. Kami punya delapan desa, sedangkan sekretaris desa cuma ada enam,” katanya.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa tidak sedikit pegawai negeri sipil di Kabupaten Samosir yang menghindari ditugaskan di Kecamatan Sitiotio, yang sering dianggap sebagai “wilayah tampungan korban mutasi”. Contohnya, seperti disampaikan oleh Wakil Kepala SMA Negeri 1 Sitiotio, Bernandus Sitanggang, bahwa di sekolahnya hanya terdapat empat guru PNS. Tahun 2011 sempat ada tujuh guru dimutasikan ke sekolah itu, tetapi cuma dua orang yang bertahan sampai sekarang.
Lebih dari satu tahun silam pernah sebuah koran lokal mengutip pembicaraan di sebuah instansi pemerintah di Kecamatan Pangururan:
“Si *** itu nanti kita pindahkan ke Sitiotio saja,” kata seorang PNS perempuan.
“Kalau si *** bagaimana?” kata PNS perempuan yang lain.
“Dia juga nanti akan dimutasikan ke Sitiotio. Tapi cocoknya dia dipecat saja,” kata pegawai lainnya.
Magda Sitinjak, yang bertugas di Sitiotio sejak kecamatan itu terbentuk, menampik anggapan bahwa Sitiotio adalah wilayah penyingkiran PNS. “Saya tersinggung kalau ada orang yang menyepelekan atau menganaktirikan Kecamatan Sitiotio,” katanya. Menurut dia, barangkali ada aparatur sipil negara yang langsung takut ditugaskan ke Sitiotio karena jauh dan terpencil. “Seharusnya dicoba dulu. Di sini enak. Udaranya sejuk. Warganya baik-baik. Biaya hidup ringan. Mau cabai, garam, air, ubi, dan bahkan kontrak rumah pun bisa gratis diberikan penduduk. Di sini adat dan kepedulian sosial masih sangat tinggi,” katanya.
Dia menjelaskan bahwa banyak pegawai Kecamatan Sitiotio, termasuk guru, yang berasal dari Kecamatan Palipi. Untunglah para pengusaha kapal angkutan penumpang di Desa Sabulan, Kecamatan Sitiotio, membantu meringankan ongkos para abdi negara ini. Setiap pagi mereka diangkut dari Mogang di Kecamatan Palipi menuju ke Sabulan di Kecamatan Sitiotio, dan sebaliknya pada sorenya, dengan tarif bulanan hanya Rp80.000 per orang.
Petang hari itu, setelah mereka mengikuti apel, saya melihat para pegawai Kecamatan Sitiotio tersebut berjalan kaki dari kantor, menuruni perbukitan, ke arah dermaga kapal di tepi Danau Toba di Desa Sabulan, desa yang terkenal keramat karena tidak boleh sembarangan mengucapkan sumpah setia di sana. Satu di antara mereka perempuan yang tengah hamil. Mereka tidak murung. Sama sekali tidak terlihat penyesalan atau kekesalan pada wajah mereka karena ditugaskan di Kecamatan Sitiotio. Mereka sungguh-sungguh menjadi anutan korps pegawai pemerintah yang siap sedia ditugaskan di mana saja, dan tidak cengeng.
Berita ini adalah sebagian kutipan dari tujuh halaman laporan khusus tentang Kecamatan Sitiotio yang saya tulis dalam tabloid Koran Toba edisi Maret 2013.
——————— ℒ———————
WWW.LAKLAK.ID 9 JULI 2019
WWW.LAKLAK.ID 9 JULI 2019