Penyanyi senior Manahan Situmorang menyentil lagu Batak kekinian yang picisan dan asal-asalan syairnya, seperti “ikkon mate di tanganhu do halletmi.” Generasi muda perlu mendengar lagu-lagu Batak tempo dulu yang bermutu tinggi dan mengandung ajaran budi pekerti.
oleh Jarar F. Siahaan | 766 kata
![]() |
Manahan Situmorang alias Andilo, 74 tahun, bernyanyi pada nada tinggi di kedai kopi di Pangururan, Kabupaten Samosir, Agustus 2016. (Foto: Jarar F. Siahaan) |
Manahan Situmorang, seniman tarik suara di Parapat, Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumatra Utara, memang sudah tidak muda lagi. Usianya sudah 74 tahun. Akan tetapi, manakala dipancing untuk membahas musik atau lagu atau penyanyi, ia bagaikan pemuda 24 tahun yang tengah mabuk kepayang: bergairah, berbicara meledak-ledak.
Dalam wawancara yang saya lakukan untuk terbitan tabloid Batak Raya, Manahan Situmorang mempraktikkan teknik olah vokal yang baik dengan mendendangkan lagu-lagu terbaik Batak Toba dan lagu klasik Barat di sebuah warung kopi di Pangururan, Kabupaten Samosir, 14 Agustus 2016. Mulutnya menganga selebar-lebarnya, tidak seperti penyanyi pop Indonesia d’Masiv yang bernyanyi bagaikan orang sedang berkumur-kumur dengan mulut nyaris terkatup, atau gerombolan gadis gemulai JKT48 yang bernyanyi dengan mulut tersenyum. Manahan melantunkan kuplet demi kuplet dengan artikulasi yang jelas dan tegas. Ia terampil mengatur napas sehingga suku-suku kata dalam bait lagunya terdengar serangkai, tidak terputus-putus. Saya terpukau mendengar suaranya yang tinggi lagi kuat.
Semasa mudanya Manahan Situmorang aktif menyanyi dan memetik gitar di kedai dan hotel di Parapat, Medan, Pematangsiantar, dan Jakarta, tetapi hanya sebagai “hobi, yang penting batin puas,” katanya. Ia selalu menolak tawaran industri musik. Fernando Hutabarat, penyanyi pemenang lomba seriosa Provinsi Sumatra Utara tiga kali berturut-turut pada 1960-an, yang “suaranya bariton tenor,” kata Manahan, pernah membujuk Manahan datang ke Kota Medan untuk menjadi penyanyi profesional, tetapi ia tidak mau. “Dia pernah meminta saya membawakan satu lagu waktu kami bertemu di kedai. Diam-diam dia mau mengetes suara saya. Dia kaget.” Manahan juga menampik sahabatnya Hanoi Simanjuntak, adik kandung Cornel Simanjuntak—kreator lagu nasional “Maju Tak Gentar”—yang menawarinya ke dapur rekaman di Jakarta. Sama sekali ia tidak tertarik menjadi artis. Ia sudah berpuas diri menjadi penyanyi amatir walau tanpa panggung dan tepuk tangan gegap gempita.
Pemilik usaha travel dan penginapan di Parapat yang lebih sering dipanggil dengan alias Andilo ini juga mengkritik pencipta lagu Batak zaman kiwari yang menulis lirik secara serampangan. Ia menyayangkan banyaknya tembang Batak yang ditulis asal jadi dengan campuran kata-kata berbahasa Indonesia, bahkan ada lirik lagu Batak yang bersifat tidak mendidik. Manahan Situmorang mencontohkan dengan bernyanyi: “Ise mandokhon ahu selingkuh. Bukan bahasa Batak itu selingkuh, tapi mangalangkup. Kecewa, kecewa ahu, Ito. Kecewa? Seharusnya tarhirim.”
Kemudian ia membandingkannya dengan lagu-lagu Batak yang telah berusia hingga empat puluhan tahun, bahkan lebih, karangan tujuh komposer di antara maestro Batak, yaitu Tilhang Gultom, Nahum Situmorang, Firman Marpaung, Ismail Hutajulu, Sidik Sitompul, Dakka Hutagalung, dan Tagor Tampubolon. Karya-karya mereka bisa “berkumandang sampai hari ini, tetap merakyat,” kata Manahan, karena selain iramanya sedap didengar, liriknya pun bahasa Batak totok dan “mengena ke hati, ke dalam jiwa.” Karena itu, sulit menemukan orang Batak Toba yang tidak senang mendengar lagu-lagu legendaris “Sinanggartullo”, “Anakhonhi do Hamoraon di Ahu”, “Sitogol”, “Da Natiniptip Sanggar”, “Lissoi”, “Nasonang do Hita Nadua”, “O, Tano Batak”, “Borhatma Dainang”, “Anju Ahu”, “Sigulempong”, “O Pio”, “Alatipang”, “Tillo Tillo”, “Didia Rongkaphi”, “Ndang Turpukta Hamoraon”, “Manduda Baion”, “Boru Panggoaran”, dan “Poda”. Kalaupun ada orang Batak Toba yang tidak menyukai lagu-lagu tersebut, mungkin hanya karena ia tergolong “manusia yang terlambat lahir”. Menurut Manahan Situmorang, generasi muda Batak perlu mendengar lagu-lagu lawas tersebut untuk memperdalam wawasan mereka tentang bahasa dan budaya Batak beserta nilai-nilai kehidupan.
Tentang Nahum Situmorang, Manahan mengatakan seniman yang hidup membujang hingga akhir hayatnya itu tidak hanya hebat mengarang tembang yang bertemakan budaya dan keindahan alam Tanah Batak, pergulatan kehidupan, dan kepahlawanan, tetapi juga gita cinta yang tidak cengeng dan tidak asal-asalan seperti beberapa lagu zaman sekarang. Coba bandingkan lirik kedua lagu patah hati ini. Yang pertama karya Nahum, dan yang kedua silakan Saudara cari tahu sendiri. Pertama, tung so tartaon do siholhu tu ho / molo dao ahu sian ho / tangis do ahu, marsak do ahu / ikkon huida do ho / ipe dokma hatam / patuduhon roham / molo ra molo olo ho / sautanhu ma ho. Kedua, ikkon mate di tanganhu do halletmi, yang Manahan katakan sebagai “syair yang tidak mengandung bimbingan.”
Sebaliknya, cermatilah nilai susastra dalam “Nahinali Bakkudu”, senandung nan pilu tentang orang tua menangisi putranya yang tidak menikah hingga berkalang tanah, yang ditulis Nahum Situmorang:
…nahinali bakkudu da sian bona ni bagot / behama ho, Doli, songon boniaga so dapot / … / boniaga so dapot lakku dope nasaonan / behama ho, Doli, tarloppo ho parsombaonan / … / atik parsombaonan dapot dope da pinele / behama ho, Doli, songon burukburuk ni rere / … / matema ho, Amang Doli / mate di paralangalangan da, Amang, mate di paraulaulan…
Larik-larik sastrawi tersebut menggunakan metafora klasik. Analogi dan pilihan kata-katanya sekelas mahakarya pujangga.