Politikus Jautir Simbolon, abang kandung Bupati Samosir, Rapidin Simbolon, adalah arsitek politik Rapidin. Ia memajukan adiknya itu pada pilkada Samosir 2005 biarpun sudah tahu pasti kalah; melarangnya mengikuti pilkada 2010 walaupun sudah cukup modal; dan membawanya hanya sebagai wakil bupati pengganti demi kemudahan meraih kemenangan pada pilkada 2015.
oleh Jarar F. Siahaan | 1.337 kata
![]() |
Politikus Jautir Simbolon, abang kandung Bupati Rapidin Simbolon, difoto di Pangururan, Kabupaten Samosir, Provinsi Sumatra Utara, Agustus 2016. (Foto: Jarar F. Siahaan) |
Pada masa pemerintahan kolonial Belanda dahulu di Kabupaten Samosir, Provinsi Sumatra Utara, kakek dari ayah Jautir Simbolon adalah seorang raja pandua. Ayah Jautir sendiri, Gerhard Simbolon, berpuluh tahun menjadi kepala desa yang dikenal hidup lurus dan tidak korup. Darah politik itulah yang sekarang diwarisi oleh Jautir, 56 tahun.
Dalam dunia politik di Kabupaten Samosir, Jautir Simbolon bukan pemain baru. Ia sudah aktif berpolitik sebagai pengurus PDI Perjuangan Kabupaten Toba Samosir di Balige ketika wilayah Samosir masih merupakan bagian dari Kabupaten Toba Samosir. Sejak bertahun-tahun silam Rapidin Simbolon menilai abangnya Jautir sebenarnya punya potensi dan peluang menjadi bupati di Samosir, karena Jautir memiliki hubungan yang bagus dengan pengurus pusat PDI Perjuangan dan sudah kenyang makan asam garam politik sejak masih di Kabupaten Toba Samosir. Akan tetapi, ada batu sandungan: Jautir tidak memiliki uang yang banyak dan pendidikan yang tinggi. Kedua modal itu ada pada diri Rapidin. Sebaliknya, Rapidin tergolong fakir pengalaman berpolitik. Karena itulah, pada tahun 2005, saat diberlakukannya undang-undang baru bahwa pemilihan kepala daerah (pilkada) dilakukan secara langsung oleh rakyat, tidak lagi oleh anggota DPRD, “Saya mengajak Rapidin terjun ke dunia politik,” kata Jautir Simbolon dalam wawancara tabloid Batak Raya di Pangururan, 29 Juli 2016. Akan tetapi, semua saudaranya yang lain menentang Jautir, “Kau sajalah dulu berpolitik,” sedangkan Rapidin sendiri tidak menampik.
Jautir melihat tahun 2005 itu pilkada yang sedang berlangsung di Kabupaten Toba Samosir akan ditentukan oleh kekuatan uang semata. Ia dan kawan-kawannya di DPC PDIP Kabupaten Toba Samosir menilai kandidat petahana Sahala Tampubolon tidak tepat untuk dipilih kembali sebagai bupati. Karena itu, Jautir habis-habisan mendukung Monang Sitorus sebagai calon bupati dari partainya. “Tidak serupiah pun saya meminta uang dari Monang,” katanya. Akhirnya Monang memang menang. Namun, hanya beberapa bulan setelah dilantik sebagai Bupati Toba Samosir, Monang langsung mengorupsi tiga miliar rupiah dana APBD, kemudian divonis bersalah dan masuk penjara setelah masa jabatannya habis.
Pada tahun 2005 Kabupaten Samosir, yang baru setahun otonom dari Kabupaten Toba Samosir, juga tengah mengikuti pilkada langsung, dan pengurus sementara PDI Perjuangan Kabupaten Samosir sudah dibentuk. Dalam DPC baru itu Jautir menjadi sekretaris. Partainya mengusung Marlen Samosir sebagai calon bupati dan Rapidin Simbolon sebagai calon wakil bupati. Biarpun sejak pencalonan Rapidin sudah ada prediksi Jautir bahwa adiknya itu tidak bakal menang, Jautir tetap saja serius bekerja dengan tim sukses demi “yang penting bukan si… itu yang menjadi bupati,” katanya.
Setelah kalah dalam pertarungan pilkada Samosir, Rapidin kembali ke Jakarta untuk meneruskan usaha bisnisnya walaupun sesungguhnya merasa berat menerima kekalahannya. “Kumpul uang dulu supaya bisa maju lima tahun lagi,” kata keluarga kepada Rapidin.
Pilkada tahun 2010 tiba, dan persiapan Rapidin sudah benar-benar matang. Ia ingin mencalonkan diri sebagai Bupati Samosir, dan berkata kepada abangnya Jautir, “Sudah ada uangku Rp12 miliar untuk biaya kampanye.” Bukannya mendapat dukungan, Rapidin malah dilarang. “Jangan ikut pilkada tahun ini,” kata Jautir, “karena siapa pun pasti kalah melawan calon inkumben Mangindar Simbolon.” Jautir sudah membaca peta politik dan melihat kuku Mangindar menancap makin dalam di mana-mana. Melawan Mangindar sama saja dengan “kalah atau mati”, bunuh diri, atau membangkrutkan diri sendiri. “Usiamu masih muda. Masih ada waktu yang lebih tepat untukmu, tahun 2015. Jangan khawatir,” kata Jautir. Rapidin menuruti nasihat abangnya itu.
Jautir mengabaikan pilkada Samosir tahun 2010 dan “saya kocok juga kepengurusan PDIP di Samosir.” Ia sengaja tidak aktif sebagai tim sukses kandidat mana pun. “Begitu lebih baik supaya nanti siapa pun yang menang tidak menjadi lawan,” katanya kepada Rapidin. Telak seperti prakiraan Jautir, pemilu kepala daerah tahun 2010 itu dimenangi oleh Mangindar Simbolon dan wakilnya, Mangadap Sinaga. Sementara itu dari Jakarta, Rapidin mengongkosi Jautir di Pangururan agar tetap bergerak di tengah masyarakat Kabupaten Samosir untuk menghimpun sokongan suara baginya pada pilkada 2015.
Pada tahun 2012, Effendi Simbolon, anggota DPR dari PDI Perjuangan, mulai menampakkan dukungan untuk mengusung Wakil Bupati Mangadap Sinaga menjadi calon Bupati Samosir pada pemilu 2015. Jautir tidak ingin ketinggalan langkah. Ia menyiapkan deklarasi keluarga: Rapidin Simbolon akan maju dalam pilkada 2015. Namun, sebelum maklumat politik itu sempat diumumkan kepada publik, tiba-tiba Mangadap Sinaga berpulang karena penyakit dadakan. Deklarasi Rapidin sebagai calon bupati pun takjadi digelar. Menurut aturan, kekosongan kursi Wakil Bupati Samosir hanya bisa diisi oleh tiga partai pengusung Mangindar dan Mangadap, termasuk PDIP. Pada saat itu Jautir sudah pindah ke Partai Gerindra, tetapi masih punya lobi yang kuat di DPP PDIP. Ia melihat jabatan wakil bupati bisa sangat efektif dan efisien digunakan untuk mendulang simpati rakyat. Ia menawarkan hal itu kepada Rapidin: menjadi Wakil Bupati Samosir untuk memperhatikan petani, turun ke lapangan setiap hari, tidak usah mengurusi proyek dan mutasi kepala dinas. Rapidin setuju.
Setelah meninggalkan uang untuk biaya operasi politik, Rapidin kembali ke Jakarta. “Duduk tenang saja di sana, biar saya yang mengurus,” kata Jautir. Kemudian Jautir mendatangi satu demi satu para kerabat anggota DPRD Kabupaten Samosir. Yang pertama ia dekati bukanlah si anggota Dewan, melainkan orang tuanya, mertuanya, pamannya, menantunya, dan “pokoknya keluarga dekatnya,” katanya. Siasat tersebut dilakukan Jautir karena “nungnga huboto DPRD akka ‘pamangus’ marpolitik, songon ahu, ha-ha-ha.” Anggota DPRD itu berpolitik seperti saya, tamak, tidak bisa dipegang kata-katanya.
“Mau maju adikku si Rapidin jadi wakil bupati. Bagaimana menurut Tulang?” kata Jautir kepada orang tua seorang anggota DPRD.
“Baguslah, supaya ada yang meneruskan kiprah Lae, bapakmu, yang dulu lama menjadi kepala desa.”
“Itulah, tapi pendapat Tulang belum tentu sama dengan anakmu yang di Dewan.”
“Bah, tidak bisa begitu. Harus dia dukung. Nanti saya bilang kepadanya.”
Setelah bergerilya dari pintu ke pintu, Jautir menghitung sudah berhasil meyakinkan keluarga sembilan anggota DPRD Kabupaten Samosir. Tugas selanjutnya, memperoleh dukungan dari pengurus partai, juga mulus terlaksana berkat taktik pendekatan ala Jautir. Alhasil, pada pemilihan di DPRD Rapidin meraih suara terbanyak.
Selama satu setengah tahun selaku Wakil Bupati Samosir, Rapidin hampir setiap hari menjalankan tugas-tugas lapangan, yang makin mendekatkannya dengan rakyat. Itulah yang disebut Jautir “jauh lebih efektif ketimbang kampanye pada masa pemilu.” Ternyata benar: pada pilkada Samosir 2015, mayoritas masyarakat memilih Rapidin menjadi Bupati Samosir.
Kini usia Rapidin Simbolon belum lebih dari 50 tahun. Karier politiknya masih bisa panjang dan berpeluang. Entah apa yang akan dibisikkan oleh Jautir kepadanya pada lima tahun atau sepuluh tahun mendatang. “Dahulu ayah kami pernah mengatakan bahwa nama saya memiliki arti ‘jangan kau khawatir’,” kata Jautir Simbolon.
...
Menurut penuturan Jautir Simbolon, adiknya Rapidin Simbolon sejak kecil tidak pernah melawan abang-abangnya, dan ia humoris. Ayah mereka, Gerhard Simbolon, semasa hidupnya sering merindukan cerita-cerita jenaka Rapidin. Apabila Rapidin lagi serius membanyol, perut orang bisa sampai terkocok. Karena pandai melucu itu pulalah jualan minyak tanah Rapidin semasa SMA laris manis di pasar Pangururan. “Tapi tensi humornya sebanding dengan tensi emosinya kalau lagi marah,” kata Jautir.
Jautir Simbolon juga terkesan akan perjuangan Rapidin saat kuliah di Medan. Beberapa bulan pertama kuliah, Rapidin masih menerima kiriman uang dari orang tuanya di Pangururan, tetapi ia sering menangis ketika uang itu sampai di tangannya. Ia membayangkan betapa berat beban ayah dan ibunya, Reni Situmorang, yang masih harus membanting tulang dalam usia 70 tahun untuk membiayai dirinya, si anak bungsu, menggapai cita-citanya di kampus. Diam-diam Rapidin menarik becak selama kuliah dan tidak lagi meminta biaya dari kampung. Ia giat belajar dan menamatkan S-1-nya hanya dalam tiga tahun.
Setelah bekerja di Jakarta dan bolak-balik mengurus bisnis ke Kalimantan, Rapidin Simbolon melanjutkan kuliah S-2. Kemudian ia membangun sebuah hotel di kampung halamannya, Pangururan, dan menamainya Hotel Dainang karena ibunya “adalah sosok yang paling hebat bagi Rapidin,” kata Jautir.
Tentang ayahnya, Gerhard Simbolon, Jautir menyebutnya sebagai orang tua yang demokratis dalam urusan pernikahan putra-putrinya. Ia tidak mendesakkan keinginan hatinya kepada mereka. Anaknya bebas menentukan calon istri atau suami sepanjang tidak bertentangan dengan norma-norma agama dan adat Batak Toba. Dahulu ada adik laki-laki Jautir mendekati seorang boru Sinurat, tetapi Gerhard marah besar. “Tidak boleh, itu hubungan terlarang, karena boru Sinurat lebih-lebih dari saudarimu sendiri,” kata Gerhard. Jautir sendiri tidak beristrikan perempuan Batak, tetapi “boru sileban, dan tidak masalah bagi ayah kami,” kata Jautir Simbolon.
*Berita politik ini saya tulis dalam tabloid Batak Raya, September 2016.