Ir. Hamonangan Siahaan pernah menjabat dosen di Medan, kemudian “turun pangkat” menjadi wartawan di Balige, Kabupaten Toba Samosir, dan sekarang bekerja mengantar surat kabar sembari mengasongkan sigaret ke kantor jawatan pemerintah. Secuil kisah loper koran yang “sinting”.
oleh Jarar F. Siahaan | 1.254 kata
![]() |
Loper koran Ir. Hamonangan Siahaan (berdiri) menjual rokok kepada pegawai kantor Bupati Toba Samosir di Balige, Februari 2013. (Foto: Tunggul Sianipar) |
Berita kehidupan Ir. Hamonangan Siahaan, 65 tahun, pernah saya tulis pada awal tahun 2010 dalam koran mingguan Media Tapanuli di Siborongborong, Kabupaten Tapanuli Utara, Provinsi Sumatra Utara, dengan judul “Mantan Dosen Menjadi Loper Koran”. Berikut sebagian kutipannya.
Hamonangan Siahaan adalah insinyur pertanian tamatan Universitas Sumatera Utara (USU) di Kota Medan. Ia bukan sarjana latteung, melainkan benar-benar berilmu. Ia pernah bekerja sebagai dosen di Universitas Dharma Agung, Medan, sebelum kemudian menjadi kuli pemecah batu di tepi Danau Toba dan buruh pencetak batu bata di Balige, Kabupaten Toba Samosir, dan mulai tahun 2004 sampai sekarang bekerja sebagai loper koran.
Ada beberapa “kemeja dinas” milik Hamonangan Siahaan yang selalu dipakainya setiap hari saat menjalankan tupoksinya—ia memang mengucapkan jargon tupoksi, akronim dari tugas pokok dan fungsi—sebagai loper koran. Pada masing-masing bagian punggung kemejanya itu ia menulis besar-besar dengan spidol tentang pekerjaannya sebagai loper koran dan terkadang sebagai wartawan.
“Loper. TMT: 2004. Menembus Hujan dan Panas Terik. Menjelajah Tiap Sudut Negeri Agar Pembaca Terlayani.” Itulah yang tertulis pada kemeja cokelat yang dipakainya ketika mengantarkan koran ke perkantoran Pemerintah Kabupaten Toba Samosir di Kota Balige. “TMT adalah singkatan terhitung mulai tahun,” katanya.
Pada kemejanya yang lain tertulis “Loper Bukan Pekerjaan Bergengsi Tapi Penting.” Tentang kalimat tersebut ia berkata, “Ada kadang-kadang orang yang melihat loper sebagai pekerjaan rendahan, padahal loper sangat penting untuk mencerdaskan bangsa. Presiden SBY saja tidak akan tahu apa isi surat kabar hari ini kalau tidak ada loper yang mengantarkan koran ke Istana Presiden. Tapi loper Istana jelas berbeda dengan kita yang di kampung-kampung ini.”
Ada lagi kemejanya berwarna biru muda: “Juru Warta Muda, Golongan I/A.” Mengenai pangkatnya itu ia mengatakan, “Dulu di zaman Orde Baru menjadi wartawan tidak segampang sekarang. Dulu ada istilah juru warta, baru setelah sekian tahun belajar menulis, naik pangkat menjadi wartawan. Sekarang ini loper koran pun sudah mengaku-ngaku wartawan. Ada lagi yang cuma modal menggertak pejabat, besoknya sudah menjadi wartawan. Saya kadang malu melihat kondisi kewartawanan saat ini. Makanya saya lebih baik dipanggil loper koran saja, Siahaan Loper.”
Pada umumnya kalangan pejabat dan pembaca surat kabar di Kota Balige melihat Hamonangan Siahaan hanya sebagai loper koran. Padahal, sesungguhnya ia juga bekerja selaku wartawan lepas. Karya tulisnya sering terbit dalam koran-koran lokal dan majalah budaya Batak terbitan Jakarta. Salah satu tulisan panjangnya pernah muncul dalam surat kabar Media Tapanuli dengan tajuk “Kisah Bangau dan Kepiting di Telaga”, sebuah ulasan menarik tentang kondisi lingkungan hidup yang rusak akibat perambahan hutan.
“Sebenarnya cita-cita saya adalah bertani di lahan yang tandus, sesuai dengan disiplin ilmu saya. Saya ingin membuat lahan tandus menjadi produktif supaya subur. Itu namanya revolusi hijau. Kendalanya, saya tidak punya modal dana. Ya, beginilah sekarang, menjadi loper koran,” kata Ir. Hamonangan Siahaan. “Dulu pernah juga saya bikin CV, tapi tidak pernah dapat proyek karena saya tidak bisa mengikuti pranata dan kebiasaan di kalangan bisnis yang main sogok.”
Loper lepas Hamonangan Siahaan, yang mengedarkan beberapa surat kabar, bercerita bahwa tidak sedikit warga Kota Balige yang antusias atas terbitnya tabloid Batak Raya. Ia mengatakan, di warung kopi Lapo Jek, misalnya, pada suatu pagi ada sekitar sepuluh warga yang tengah duduk mengopi. Ketika ia tiba di sana untuk memberikan dua eksemplar Batak Raya sebagai promosi sambil berkata, “Koran ni si Jarar do on,” sontak mereka berdiri menghampiri Hamonangan seakan-akan takut tidak kebagian. Setiap orang minta satu koran. Pemilik kedai sendiri mengambil enam eksemplar sekaligus untuk disampaikan kepada “orang tua dari desa-desa, seperti Tarabunga dan Sibuntuon. Sejak Media Tapanuli hingga Koran Toba mereka suka membaca tulisanmu ketika lagi minum di warung si Jek,” kata Hamonangan Siahaan, mengutip kata-kata empunya warung kopi.
Ada juga guru bahasa Indonesia SMA yang sedari dulu rajin membeli Media Tapanuli dan Koran Toba, dan sekarang pun sudah melanggani Batak Raya, kata Hamonangan, karena menyukai teknik penulisan berita dan rubrik saya perihal tata bahasa Indonesia. Di tempat lain di Kota Balige ada pula dua ibu rumah tangga yang minta berlangganan begitu tahu saya menulis untuk Batak Raya. “Figur seorang penulis berpengaruh pada penjualan koran,” kata Hamonangan Siahaan.
Ia mengaku ada kepuasan tersendiri bagi dirinya sebagai loper koran apabila orang membeli media karena isinya menarik. “Jangan seperti beberapa SKPD yang melanggani koran tertentu tapi tidak dibaca. Mereka berlangganan hanya karena takut kepada wartawan,” katanya.
Hamonangan seorang sarjana, insinyur pertanian, yang sering disebut-sebut “sinting” karena semenjak bertahun-tahun silam suka mengenakan seragam eksklusif kurir koran yang tidak pernah ada dalam dunia persuratkabaran: pada bagian punggung bajunya tertera teks besar-besar “Jurnalis Junior, Juru Warta Muda, Golongan I-A.” Ia memakainya bukan tanpa tujuan: untuk menyindir oknum wartawan yang mengaku senior dan hebat hanya karena bisa sok akrab menelepon bupati atau kepala dinas, atau mendapat proyek dari jawatan pemerintah, tetapi tidak ada karya jurnalistiknya yang mencerahkan pikiran publik atau berkesan di hati khalayak pembaca.
“Molo diboto saotik mangogapi, dapotan proyek, gabe wartawan seniorma i. Hape dasar ni jurnalistik 5W + 1H dohot piramida terbalik pe ndang diantusi. Tumagonma songon ahu wartawan junior, golongan I-A, martigatiga surat kabar dohot sigaret tu kantor-kantor. Ndang hea mangogapi pejabat, ndang ‘lapan anam’. Halal, ha-ha-ha,” kata Hamonangan Siahaan, yang pernah menjadi wartawan majalah bulanan terbitan Jakarta, tetapi kemudian berhenti menulis karena sama sekali tidak diberi gaji atau honor berita. Adapun maksud kalimat bahasa Batak Toba yang diucapkan Hamonangan Siahaan: “Kalau tahu sedikit menggertak, dapat proyek, disebut sebagai wartawan senior. Padahal, jurnalistik dasar 5W + 1H dan piramida terbalik pun tidak dipahami. Lebih baik seperti saya, wartawan junior, golongan I-A, berjualan koran dan rokok ke kantor-kantor. Tidak pernah mengancam pejabat, tidak menerima uang suap. Halal, ha-ha-ha.”
Sememangnya bekerja sebagai loper koran jauh lebih muktabar, lebih terhormat, daripada menjadi wartawan muntaber, yang “muncul tanpa berita”, wartawan abal-abal.
Tunggul Sianipar, mantan reporter Media Tapanuli dan tabloid Koran Toba, juga pernah menulis tentang loper koran Hamonangan Siahaan. Berikut kutipannya dari berita ringkas berjudul “Karena Koranku Tidak Enak Dibaca”.
Namanya Ir. Hamonangan Siahaan. Dia seorang wartawan yang unik di Kota Balige, Kabupaten Toba Samosir, Provinsi Sumatra Utara. Dia termasuk wartawan idealis, yang tidak mau memanfaatkan profesinya untuk melakukan pemerasan terhadap pejabat. Dia pintar menulis. Dia sarjana pertanian lulusan Universitas Sumatera Utara tahun 1970-an. Karena faktor rezeki dan idealismenya, status sosialnya tidak seperti layaknya sarjana pertanian yang menjadi pejabat atau orang sukses.
Dia merasa bahwa dirinya hanya pantas disebut sebagai loper koran, karena tugasnya lebih banyak mengantar surat kabar daripada meliput berita. Pernyataan itu sebenarnya merupakan kritik atau sindiran terhadap oknum wartawan yang dengan modal kartu pers “mewawancarai” pejabat untuk mendapat amplop.
Kali ini Hamonangan Siahaan menampilkan gaya baru. Dia pergi ke kantor-kantor tetapi tidak untuk mengantar koran, melakukan konfirmasi atau wawancara. Dia datang sambil menenteng tas. Pada tasnya itu tertulis dengan huruf besar “Hari Ini Cash, Besok Boleh Bon” dan “Semoga Sehat Merokok.”
Ketika Koran Toba bertanya kepadanya apakah sekarang pekerjaannya penjual rokok, Hamonangan Siahaan menjawab bahwa dirinya masih sah sebagai wartawan, karena dia punya kartu pers, dan surat tugasnya juga sudah terdaftar di Bagian Humas Pimpinan dan Protokol Pemerintah Kabupaten Toba Samosir. Akan tetapi, dia mengaku cuma “WTS” atau wartawan tanpa surat kabar. Dia tidak lagi memasukkan koran ke Bagian Humas, karena korannya itu tidak laku. “Koran saya tidak enak dibaca makanya tidak dibeli orang,” katanya. Daripada rugi, dia lebih baik tidak menjalankan koran.
Dia juga merasa tidak mampu seperti wartawan lain yang memiliki “kekuatan”. Dia tidak memiliki informasi penting tentang kasus pejabat sehingga dia tidak “ditakuti” oleh pejabat. Meskipun demikian, “Nanti kalau ada temu pers, saya juga akan mendapat amplop,” katanya.
*Berita ringan ini saya kutip dari tiga surat kabar yang redaksinya pernah saya kelola: mingguan Media Tapanuli, tabloid Koran Toba, dan tabloid Batak Raya. Bacalah tulisan saya tentang uji kompetensi wartawan untuk memaklumi apa sebenarnya tugas jurnalis dan bagaimana mengerjakan jurnalisme yang benar menurut Dewan Pers.