Langsung ke konten utama

Pendekar Wisata Samosir

Sebelum Tuktuk Siadong termasyhur ke antero dunia, yang mula-mula dikenal turis di Kabupaten Samosir ialah Desa Tomok Parsaoran. Pelancong sibontarmata dijemput pendekar wisata Mangoloi Sidabungke dengan solu bolon.

oleh Jarar F. Siahaan │ 705 kata

Tomok dan Tuktuk tempat wisata Samosir
Pendekar wisata Mangoloi Sidabungke (kanan) dengan berkaki ayam membawa pelancong bule raun-raun dari Tomok ke Pangururan di Kabupaten Samosir, 1974. (Foto reproduksi: Jarar Siahaan/dokumen keluarga Mangoloi)

Seorang lelaki kampungan yang baru saja menikah, cuma jebolan STM, dan tidak tahu omong Inggris menyeberangi Danau Toba dengan perahu dayung selama berjam-jam demi mengundang turis-turis bule ke desanya yang indah tetapi belum terkenal. Namanya: Mangoloi Sidabungke. Desanya: Tomok Parsaoran. Masanya: tahun 1969. Modalnya: kenekatan.

Tempo itu kapal penumpang bermesin hanya sekali seminggu melayari rute Tomok–Tigaraja untuk membawa penduduk yang umumnya hendak berbelanja dan berdagang hasil bumi. “Awalnya tahun 1969 dia bertemu dengan turis di Tigaraja, Parapat, lalu turis itu dibawanya ke Tomok dengan perahu,” kata Martahiuli Gultom, istri almarhum Mangoloi, yang saya wawancarai pada Agustus 2013 di Desa Tomok Parsaoran, Kecamatan Simanindo, Kabupaten Samosir, Provinsi Sumatra Utara, untuk berita khas dalam rubrik liputan khusus pariwisata Koran Toba, media cetak yang saya pimpin ketika itu.

Pada mulanya hanya satu orang turis bule yang bersedia diajak ke Tomok. Dia tinggal selama beberapa hari bersama dengan Mangoloi dan istrinya, yang baru saja menikah, di rumah kakek mereka di Kampung Sidabungke. Sehari-hari lelaki sibontarmata, sebutan Martahiuli untuk wisatawan mancanegara, itu mesti berbahasa tarzan dengan mereka. Maklumlah, keluarga Mangoloi belum mengenal satu kata pun bahasa Inggris. “Kalau mengatakan ingin makan, mesti pakai bahasa isyarat,” kata Martahiuli.

Makanan yang disajikannya kepada si tamu hanyalah menu rumahan: nasi putih, sayur daun ubi tumbuk, ikan emas arsik, dan telur. Itu santapan yang termasuk paling mewah. Terkadang ada juga yang lebih lezat: gulamo, ikan asin.

Si orang Barat pun menurut saja ketika diajak ke sawah, bahkan ikut membantu menanam padi. “Belajar hidup miskin dia datang ke sini,” kata Martahiuli Gultom.

Ketika pelancong bule itu hendak diantarkan pulang ke Parapat dengan perahu dayung, dia memberikan berlembar-lembar uang kepada Mangoloi Sidabungke. “Bapak saya kaget bukan kepalang,” kata Gregory Sidabungke, putra almarhum, yang tinggal beserta ibunya di Tomok. “Uang itu banyak sekali, bisa untuk kebutuhan hidup keluarga kami selama satu bulan.”

Selama berbulan-bulan berikutnya Mangoloi Sidabungke membawa semakin banyak wisatawan asing dari Parapat dengan perahunya, bisa sampai empat orang sekali dayung. Tempat untuk mereka tidur menjadi tidak cukup. Tersebab itu, pasangan suami istri Mangoloi dan Martahiuli menyewa empat rumah tradisional Batak milik warga di Kampung Tomok Bolon untuk penginapan tamu. Martahiuli juga harus lebih sering ke pasar untuk berbelanja. Buah pisang, nanas, ratusan butir telur, dan berkerat-kerat bir dibelinya saban pekan.

Kala itu belum ada satu pun hotel baik di Tomok maupun Tuktuk Siadong. Rumah penginapan yang digagasi Mangoloi-lah yang pertama. Barulah pada tahun 1975 mulai berdiri bangunan hotel di Tuktuk Siadong, tanjung yang kini sangat ternama di dunia pelesiran.

Gregory Sidabungke, putra Mangoloi, menceritakan satu insiden konyol gara-gara tidak adanya jamban di rumah mereka. “Pada masa itu kami juga masih ke semak-semak,” katanya. Yang dimaksudkannya ialah “kakus publik alami”. Waktu itu seorang turis bule duduk bertinggung di semak untuk hajat besar. Tiba-tiba bokongnya diendus-endus oleh ternak babi. “Mangoloi, help! Mangoloi, help!” si turis berteriak-teriak. Dia berlari lintang pukang sembari terbahak-bahak mentertawakan dirinya sendiri. Meskipun begitu, turis tetap senang karena bisa “merasakan bagaimana caranya hidup miskin,” kata Martahiuli Gultom, yang tersenyum simpul di atas kursi rodanya.

Gregory mengatakan ayahnya pernah mendayung solu bolon, perahu naga khas Batak, mengelilingi Pulau Samosir. Dia memasak di atas perahu berukuran
jumbo itu. Dia juga membawa ubi sebagai bekal.

Secarik foto hitam putih disodorkan oleh Gregory kepada saya: ayahnya, Mangoloi Sidabungke, beserta sepasang turis luar negeri diabadikan tahun 1974 ketika raun-raun dengan berjalan kaki dari Desa Tomok Parsaoran menuju ke pemandian air panas di Pangururan, yang sekarang menjadi ibu kota Kabupaten Samosir. “Mereka membawa bekal buah nanas selama dalam perjalanan,” kata Gregory.

Terkait dengan kegigihannya selama bertahun-tahun mengarungi Danau Toba untuk memuaskan hasrat wisata para pelancong, dan sekaligus mempromosikan Tomok dan Tuktuk, pada akhirnya Mangoloi menjadi sahabat pena tokoh-tokoh nasional, antara lain Adam Malik, Bung Hatta, dan Sri Sultan Hamengku Buwono IX. “Saya pernah menemukan surat dari politikus Sabam Sirait kepada Bapak. Surat Sabam itu ditulis tangan. Dia terkenang dan mengucapkan terima kasih karena pernah dibawa marsolu bolon oleh bapak saya,” kata Gregory Sidabungke.

Selaku perintis pariwisata Danau Toba di Pulau Samosir, yang kini berjuluk “negeri indah kepingan surga”, Mangoloi Sidabungke sudah sepantasnya diabadikan menjadi nama salah satu jalan raya di Kabupaten Samosir.

——————————————
WWW.LAKLAK.ID 24 JUNI 2019

Postingan populer dari blog ini

Lagu Batak yang Dibawa Mati Jenderal Panggabean

“Doa Saya di Pusuk Buhit Selalu Terwujud”

Lagu Batak Makin Tidak Bermutu