Politikus Jonni Sihotang kerap berdoa di puncak keramat Gunung Pusuk Buhit di Kabupaten Samosir, Provinsi Sumatra Utara. Ia takpeduli disebut sebagai si pelebegu atau penyembah berhala. Itulah tempat paling suci baginya untuk memanjatkan doa kepada Tuhan, dan ia membawa sesajen ke sana.
oleh Jarar F. Siahaan | 896 kata
![]() |
Batu Parsaktian di puncak Gunung Pusuk Buhit di Kabupaten Samosir pada suatu petang yang berkabut tahun 2013. Banyak orang Batak Toba menyakralkannya. (Foto: Jarar F. Siahaan) |
Wakil Ketua DPRD Kabupaten Samosir Jonni Sihotang secara blak-blakan mengakui bahwa setiap tahun ia berdoa di puncak tertinggi gunung yang sakral Pusuk Buhit. “Bukan karena menyembah berhala saya berangkat ke Pusuk Buhit. Saya pikir itulah tempat yang paling suci di Samosir untuk tempat saya berdoa,” kata Jonni Sihotang, yang saya wawancarai untuk salah satu laporan dalam liputan khusus Gunung Pusuk Buhit pada Koran Toba di Pangururan, 24 Februari 2013.
Setiap awal tahun ia mendaki puncak Gunung Pusuk Buhit dengan mobilnya yang bergardan dua. Biasanya ia berangkat pada pagi hari. Ia tidak sendirian, tetapi mengajak istri, anggota keluarga, dan manajer perusahaannya.
Tahun 2003 untuk pertama kalinya ia berdoa di puncak Pusuk Buhit yang disakralkan banyak orang Batak Toba itu. Di sanalah konon tempat “nabi” Raja Uti, putra sulung Guru Tatea Bulan, diserahkan kembali kepada Mulajadi Nabolon, sebutan bagi Tuhan Yang Mahabesar. Jonni Sihotang membawa sesajen berupa daun sirih, telur, jeruk purut, dan ayam. Pada waktu itu ia takjub melihat keajaiban sinar matahari yang hanya menyuar puncak gunung. “Saya tidak malu mengutarakan hal itu. Kalaupun orang bilang saya parbegu, penyembah berhala, itu terserah mereka,” kata Jonni Sihotang.
Kedua telapak tangannya menyembah sembari menjepit daun sirih. Ia menyebut nenek moyangnya dan Ompung Mulajadi Nabolon. Isi doanya diucapkan dengan suara yang lantang, bukan dirisikkan, sehingga dapat didengar oleh orang lain yang diajaknya. Doa-doanya selalu berkaitan dengan usaha-usaha bisnisnya dan kesehatan anggota keluarganya. “Tidak, saya tidak pernah berdoa di sana untuk urusan politik,” katanya.
Ia sering mendaki gunung itu bersama dengan rombongan sebanyak empat mobil. Karena itulah, setiap membeli mobil baru ia selalu memilih yang bergardan dua. Akan tetapi, ia mengaku salah karena membawa mobilnya sampai ke puncak Pusuk Buhit. Seharusnya cukup dengan berjalan kaki, katanya, demi menjaga kesucian tempat tersebut.
Ia merasa nyaman dan yakin saat berdoa di puncak Gunung Pusuk Buhit. “Bukan karena ada makhluk gaib atau ular besar di sana, tapi karena di tempat itulah orang Batak pertama. Arti sakral tidak negatif. Suci. Saya yakin Tuhan Yang Mahakuasa mendengar doa saya dari puncak Pusuk Buhit, dan hampir semua yang saya minta selalu terwujud,” katanya. “Jadi, kenapa kita munafik? Kenapa kita takut memberikan anggaran untuk membangun situs-situs di Pusuk Buhit? Karena kemunafikan kita, kita takut dituduh sebagai penyembah berhala. Saya bingung melihat teman-teman kita ini. Kenapa kita bilang itu salah sementara kita lakukan. Berarti yang mendominasi pola pikir adalah kemunafikan.”
Tahun 1992, ketika masih bekerja di perusahaan pertambangan batu bara di Pulau Kalimantan, Jonni Sihotang memiliki bapak angkat seorang kiai, yang juga dikenal sebagai penasihat spiritual Presiden Soeharto pada masa itu. Ia mengambil sebatang korek api dan bertanya kepada Jonni, “Apakah kamu percaya bahwa korek ini adalah tuhan?” Jonni menjawab tidak percaya. Kemudian dengan mengutip ayat Alkitab, kiai berkata, “Sebesar biji sesawi saja kamu memiliki iman, kamu dapat memerintahkan gunung untuk pindah.” Sejak itulah Jonni mulai berpikir bahwa kebesaran Tuhan tidak hanya bersemayam di dalam gereja, masjid, atau rumah ibadah. Tuhan ada di mana-mana.
“Kalau sama pemahaman saya dengan semua orang tentang [kesucian] Pusuk Buhit, mereka juga sudah saya ajak ke sana untuk memohon kepada Tuhan Yesus,” kata Jonni Sihotang. “Saya harus mengutarakan ini kepada siapa pun. Saya tidak mau munafik. Saya tidak pernah sembunyi-sembunyi ke sana. Bahkan, dalam rapat DPRD saya blak-blakan membuka itu. Saya tidak malu. Seujung rambut pun saya tidak pernah menyembunyikan apa yang sudah saya dapatkan setelah berdoa di Pusuk Buhit.”
Jonni berpendapat bahwa seharusnya seluruh lapisan masyarakat di Kabupaten Samosir, terutama pemerintah daerah, benar-benar menyadari Samosir sebagai kawasan tujuan wisata. Mereka tidak boleh malu-malu mempromosikan objek-objek wisata yang bersifat spiritual di Pulau Samosir, termasuk Gunung Pusuk Buhit dan agama asli orang Batak, Parmalim.
“Tarutung dikenal dengan Salib Kasih. Dairi dikenal dengan wisata iman. Kenapa kita tidak bikin wisata spiritual Pusuk Buhit di Kabupaten Samosir?” katanya. “Kenapa kita harus munafik? Buka! Saya juga mengatakan hal ini dalam rapat-rapat.”
Menurut Jonni Sihotang, kultur Batak yang sesungguhnya tidak terlalu terlihat lagi pada zaman sekarang ini, karena sudah banyak orang Batak yang terpengaruh budaya asing.
Dalam wawancara pada waktu dan di tempat yang sama, seorang anggota DPRD Kabupaten Samosir lainnya, Tuaman Sagala, juga tidak memungkiri bahwa puncak Gunung Pusuk Buhit adalah tempat yang sakral dan cocok untuk memanjatkan doa. Memang dirinya sendiri belum pernah sampai ke puncak, tetapi orang tuanya sudah pernah. Tuaman lahir setelah kedua orang tuanya pergi berdoa di puncak gunung itu. Sebelumnya, semua saudara tuanya adalah perempuan. Ia satu-satunya anak laki-laki dalam keluarganya.
Tuaman Sagala mengatakan Uskup Agung Medan A.B. Antonius Sinaga pernah berpidato beberapa tahun silam di tempat terbuka di Kabupaten Samosir bahwa nenek moyang orang Batak Toba pada zaman dahulu sudah punya anutan kepercayaan, dan puncak Gunung Pusuk Buhit menjadi tempat mereka berdoa. Tidak ada yang salah dengan hal itu. Mulajadi Nabolon adalah pencipta langit dan bumi, dan itulah Tuhan dalam sebutan modern saat ini. Dalam ritualitas adat Batak Toba, kata Tuaman, Uskup Agung A.B. Antonius Sinaga juga sering terlihat memegang jeruk purut, membakar kemenyan, dan menyebut Ompung Mulajadi Nabolon.
Oleh sebab itu, sedangkan pemuka agama seperti Uskup Agung saja tidak menganggap puncak Gunung Pusuk Buhit sebagai tempat menyembah berhala, “Kenapa kita harus malu atau ragu-ragu?” kata Jonni Sihotang. “Kita jangan munafik!”